Halaman

Share

Grab This

Senin, 07 Januari 2013

MAKALAH CKD




Tugas Indiviu
Makalah Patofisiologi

Makassar , 20 November 2011

GAGAL GINJAL KRONIK
 (CRONIC KIDNEY DISEASE / CKD)


uin-makassar.gif


DISUSUN
OLEH :


MARIA ULFA
70300109039
KEPERAWATAN C1





JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2011

KATA PENGANTAR
Basm22

Assalamu Alaikum Wr.Wb.
          Alhamdulillah puji syukur kepada ALLAH SWT atas izinnyalah maka penulis berhasil menyusun makalah ini yang masih memiliki banyak kekurangan dan semoga dapat memenuhi kebutuhan kita semua sebagai suatu bahan penambah wawasan dan ilmu pengetahuan.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing yang telah memberikan arahan yang sangat membantu dalam penyusunan makalah ini.Tak lupa ucapan terima kasih kepada teman-teman serta pihak-pihak lain atas bantuan dan dorongannya.
Adapun keberadaan isi dalam makalah ini mungkin masih terdapat kekurangan, namun upaya keras telah kami lakukan demi kesempurnaan makalah ini, karena tak ada gading yang tak retak. Terlepas dari permasalahan bahwa keberadaan makalah ini merupakan tugas yang harus kami selesaikan, kami tetap berharap semoga isi makalah ini dapat bermanfaat. 
Karenanya itu, saran serta kritik yang bersifat membangun senantiasa kami harapkan dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan selanjutnya. Akhirnya kepada Allah jualah kami mengembalikan segalanya dan semoga makalah ini dapat bernilai ibadah di sisi-Nya.
Wassalamu Alaikum Wr.Wb.

                                                                                                   Makassar, 20 November 2011

Maria Ulfa
                                                                                                              
DAFTAR ISI
Kata Pengantar      ................………….……………………………….……………       ii
Daftar Isi     ………............................…………………………….....……………..      iii
Bab I      PENDAHULUAN ....…….............………………………………………       1
A.     Latar Belakang .....................................................................................    1

B.     Tujuan .............................................................................................       2

BAB II   TINJAUAN PUSTAKA   ..............................................................................         3
A.    Pengertian .................................................................................................         3
B.     Epidemiologi ……….............................................................................   3
C.     Etiopatogenesis ........................................................................................ 4
D.    Klasifikasi ............................................................................................  7
E.     Gambaran Klinik dan Patofisiologi .....................................................     8
F.      Pemeriksaan Fisik          ……....……....................................................... 17
G.    Pemeriksaan Penunjang ……………...................................................... 17
H.    Diagnosis .............................................................................................. 21
I.       Terapi ..............................................................................................     23
J.       Komplikasi    ............................................................................................         29
K.    Prognosis     ..............................................................................................         29
BAB III  PENUTUP .................................................................................................. 30
A.     Kesimpulan      .........................................................................................                     30
B.     Saran     ................................................................................................... .         30
Daftar Pustaka      ………………………………………………………………….     31





BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
 Penyakit ginjal kronis (CKD) merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia dan sekarang dikenal sebagai kondisi umum yang dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit jantung dan gagal ginjal kronis (CRF).
Gagal ginjal biasanya dibagi menjadi dua kategori yang luas yakni kronik dan akut. Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagl ginjal yang progresif dan lambat (biasanya berlangsung beberapa tahun), sebaliknya gagal ginjal akut terjadi dalam beberapa hari atau beberapa minggu. Pada kedua kasus tersebut, ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan makanan normal. Meskipun ketidakmampuan fungsional terminal sama pada kedua jenis gagal ginjal ini, tetapi gagal ginjal akut mempunyai gambaran khas dan akan dibahas secara terpisah.
Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak massa nefron ginjal. Sebagian besar penyakit ini merupakan penyakit parenkim ginjal difus dan bilateral, meskipun lesi obstruktif pada traktus urinarius juga dapat menyebabkan gagal ginjal kronik. Pada awalnya, beberapa penyakit ginjal terutama menyerang glomerulus (glomerulonefritis), sedangkan jenis yang lain terutama menyerang tubuls ginjal (pielonefritis atau penyakit polikistik ginajl) atau dapat juga mengganggu perfusi darah pada parenkim ginjal (nefrosklerosis). Namun, bila proses penyakit tidak dihambat, maka pada semua kasus seluruh nefron akhirnya hancur dan diganti dengan jaringan parut.
Meskipun penyebabnya banyak, manifestasi klinis gagal ginjal kronik sangat mirip satu sama lain karena gagal ginjal progresif dapat didefinisikan secara sederhana sebagai defisiensi jumlah total nefron yang berfungsi dan kombinasi gangguan yang tidak pasti tidak adapat dielakkan lagi. (1:912)


B. Tujuan
1. Mengetahui defenisi dari gagal ginjal kronik.
2. Mengatahui epidemiologi, etiopatogenesis, dan klasifikasi gagal ginjal kronik.
3. Mengetahui gambaran klinik dan patofisiologi serta pemeriksaan fisik dan penunjang yang dianggap perlu.
4. Mengetahui diagnosis dan terapi untuk gagal ginjal kronik.
5. Mengetahui komplikasi dan prognosis dar gagal ginjal kronik.















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti gijal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. (2:1035)
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ERSD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubulus mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia. (3:1448)
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah kerusakan faal ginjal yang hampir selalu tak dapat pulih, dan dapat disebabkan berbagai hal. Istilah uremia telah dipakai sebagai nama keadaan ini selama lebih dari satu abad, walaupun sekarang kita sadari bahwa gejala gagal ginjal kronik tidak seluruhnya disebabkan retensi urea dalam darah. (4:264)
Adapun kriteria penyakit ginjal kronik adalah :
1.    Kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, berupa kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LGF), berdasarkan :
·         Kelainan patologik atau
·         Pertanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan pada komposisi darah atau urin, atau kelainan pada pemerikasaan pencitaraan.
2.    LFG <60 ml/menit/1,73 m2 yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. (5:157)
Gagal ginjal kronik didefinisikan sebagai kemunduran fungsi ginjal yang progresif dan tak reversibel yang disebabkan oleh berbagai jenis penyakit. Penyakit yang mendasari sulit dikenali bila gagal ginjal telah parah. Bila laju filtrasi glomerulus (GFR) turun di bawah 25-30% dari angka normal, ginjal mungkin menjadi tidak mampu mengekskresi sisa-sisa nitrogen, mengatur volume dan elektrolit, dan mengeluarkan hormon. (6:180)
B. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun. (2:1035)
C. Etiopatogenesis
Penyebab gagal ginjal kronik yang tersering dapat dibagi menjadi delapan kelas seperti yang tercantum pada tabel dibawah.
Tabel Klasifikasi penyebab gagal ginjal kronik (1:918)
Klasifikasi Penyakit
Penyakit
Penyakit infeksi tubulointerstitial
Pielonefritis kronik atau refluks netropati
Penyakit Peradangan
Glomerulonefritis
Penyakit Vaskuler hipertensif
Nefrosklerosis benigna, Nefrosklerosis maligna, dan Stenosis Arteria renalis.
Gangguan Jaringan Ikat
Lupus eritematosus sistemik, Poliarteritis nodosa, Sklerosis sistemik progresif
Gangguan kongenital dan herediter
Penyakit ginjal polisikistik dan Asidosis tubulus ginjal.
Penyakit metabolik
Diaetes mellitus, Gout, Hiperparatiroidisme, amiloidosis
Netropati toksik
Penyalahgunaan analgesik dan Netropati timah.
Netropati obstruktif
Traktus urinarius bagian bawah, hipertrofi prostat, stiktur uretra, anomali kongenital leher vesika urinaria dan uretra.

Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain. Tabel 2 menunjukkan penyebab utama dan insiden penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat. (2:1036)
Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialsis di Indonesia, seperti pada tabel 3.
Dikelompokkan pada sebab lain di antaranya, nefritis lupus, netropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginajal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui.
Tabel 2. Penyebab Utama Penyakit Ginjal Kronik Di Amerika Serikat (1995-1999)
Penyebab
Insiden
Diabetes Mellitus
-          tipe 1 (7%)
-          tipe 2 (37%)
44%
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar
27%
Glomerulonefritis
10%
Nefritis Interstitialis
4%
Kista dan penyakit bawaan lain
3%
Penyakit sistemik (misal, lupus dan vaskulitis)
2%
Neoplasma
2%
Tidak diketahui
4%
Penyakit lain
4%

Tabel 3. Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia th. 2000 (2:1036)
Penyebab
Insiden
Glomerulonefritis
46,39%
Diabetes Mellitus
18,65%
Obstruksi dan Infeksi
12,85%
Hipertensi
8,46%
Penyebab lain
13,65%

Banyak hal yang dapat menyebabkan gagal ginjal kronik. Banyak penyakit ginjal yang mekanisme patofisiologinya bermacam-macam tetapi semuanya sama-sama menyebabkan destruksi nefron yang progresif pada tabel dibawah dapat dilihat dua golongan utama penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan gagal ginjal kronik. (4:264)
Tabel. Dua Golongan utama penyakit yang dapat menyebabkan gagal ginjal kronik (4:264)
1. penyakit parenkim ginjal :
a.       Penyakit ginjal primer:
Glomerulinefritis
Pielonefritis
Ginjal polikistik
Tuberkolosis ginjal
b.      Penyakit ginjal sekunder :
Nefritis lupus
Netropati hipertensi
Netropati diabetik
Netropati analgesik
Amiloidosis ginjal
2. Penyakit ginjal obstruktif  yang disebabkan:
-          Pembesaran prostat
-          Batu saluran kencing
-          Refluks ureter
-          Katup posterior uretra.

Penyebab paling umum penyakit ginjal tahap akhir (Most Common Causes of End-Stage Renal Disease (ESRD) :(7:408)
       I.            Diabetes mellitus 44%
    II.            Hypertension 26%
 III.            Glomerulonephritis 8%
 IV.            Polycystic kidney disease 2%
    V.            Other/unknown 20%
 VI.            Urologis 6%. (8:93)



D. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
                                                            (140-umur) X berat badan
LFG (ml/mnt/1,73m2) =
                                                72 X kreatinin plasma (mg/dl)
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :
                              
  (140-umur) X berat badan
LFG (ml/mnt/1,73m2) =
                                                72 X kreatinin plasma (mg/dl)

 



*pada perempuan dikalikan 0,85
Klasifikasi tersebut tampak dalam tabel berikut di bawah :
Tabel klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Derajat Penyakit
Derajat
Penjelasan
LFG (ml/mnt/1,73m2)
1
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau
≥90
2
Kerusakan ginjal dengan LFG   ringan
60-89
3
Kerusakan ginjal dengan LFG   sedang
30-69
4
Kerusakan ginjal dengan LFG   berat
15-29
5
Gagal ginjal
<15 atau dialisis

Klasifikasi atas dasar diagnosis, tampak pada tabel berikut : (2:1036)
Tabel klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit
Tipe Mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes
Diabetes Tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes
Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat, neoplasia)
Penyakit Vaskular (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik, batu, obstruktif, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi
Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin/ takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulophaty

D. Gambaran Klinik Dan Patofisiologi
-  Gambaran Klinik
Pada gagal ginjal stadium I, tidak tampak gejala-gejala klinis. Seiring dengan perburukan penyakit, penurunan pembentukain eritroprotein menyebabkan keletihan kronis dan muncul tanda-tanda awal hipoksia jaringan dan gangguan  kardiovaskular. Dapat timbul poliuria (peningkatan pengeluaran urine) karena ginjal tidak mampu memekatkan urine seiring dengan perburukan penyakit. Pada gagal ginjal stadium akhir, pengeluaran urine turun akibatGFR rendah. (9:732)
Gambaran  klinis gagal ginjal meliputi perubahan cairan, elektrolit, dan keseimbangan asam-basa; ganmgguan mineral dan tulang; anemia dan gangguan koagulasi; hipertensi
dan perubahan dalam fungsi kardiovaskular;
gangguan pencernaan; kompliksi neurologis, gangguan integritas kulit, dan gangguan imunologi.
Uremia yang secara harfiah berarti "urin dalam darah," adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan manifestasi klinis ESRD.
Uremia berbeda dari azotemia, yang hanya menunjukkan akumulasi limbah nitrogen dalam darah dan dapat terjadi tanpa gejala.(10:438)
Karena pada gagal ginjal kronis setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka pasien akan memperlihatkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari, dan usia pasien.
Manifestasi kardiovaskuler, pada gagal ginjal kronis mencakup hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron), gagal jantung kongestiv, dan edema pulmoner (akibat cairan berlebih), dan perikarditis (akibat iritasi pada lapisan perikardial oleh toksikn uremik).
Gejala dermatologi yang sering terjadi mencakup rasa gatal yang parah (pruritis). Butiran uremik, suatu penumpukan kristal urea di kulit, saat ini jarang terjadi akibat penanganan yang dini dan agresif pada penyakit ginjal tahap-akhir. Gejala gastrointestinal juga sering terjadi dan mencakup anoreksia, mual, muntah, dan cegukan. Perubahan neuromuskular mencakup perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi, kedutan otot, dan kejang.
Mekanisme yang pasti untuk setiap manifestasi tersebut belum dapat diidentifikasi. Namun demikian, produk sampah uremik sangat dimungkinkan sebagai penyebabnya. Tanda dan gejala yang sering dijumpai pada gagal ginjal kronis, sebagai berikut : (3:14449-50)
Kardiovaskuler :
·         Hipertensi
·         Pitting edema (kaki, tangan, sakrum)
·         Edema periorbital
·         Friction rub perikardial
·         Pembesaran vena leher
Gastrointestinal :
·         Napas berbau amonia
·         Ulserasi dan perdarahan pada mulut
·         Anoreksia, mual dan muntah
·         Konstipasi dan diare
·         Perdarahan pada saluran GI
Integumen :
·         Warna kulit abu-abu mengkilat
·         Kulit kering, bersisik
·         Pruritus
·         Ekimosis
·         Kuku tipis dan rapuh
·         Rambut tipis dan rapuh
Neurologi :
·         Kelemahan dan keletihan
·         Konfusi
·         Disorientasi
·         Kejang
·         Kelemahan pada tungkai
·         Rasa panas pada telapak kaki
·         Perubahan perilaku
Pulmoner :
·         Krekels
·         Sputum kental dan liat
·         Napas dangkal
·         Pernapasan kussmaul
Muskuloskeletal :
·         Kram otot
·         Kekuatan otot hilang
·         Fraktur tulang
·         Foot drop
Reproduktif :
·         Amenore
·         Atrofi testikuler
·         Penurunan libido
·         Impotensi
·         Infertilitas
Tulang dan sendi :
·         Hiperparatiroidisme
·         Defisiensi vitamin D
·         Gout
·         Pseudogout
·         Kalsiifikasi ekstra tulang. (11:532)

Adapun gejala-gejala klinik yang lain dari gagal ginjal kronis :
1)      Hipertensi. Hipertensi sering ditemukan dan dapat diakibatkan oleh meningkatnya produksi renin dan angiotensin, atau akibat kelebihan volume yang disebabkan olleh retensi garam dan air. Keadaan ini dapat mencetuskan gagal jantung dan mempercepat kemerosotan GFR bila tidak dikendalikan dengan baik.
2)      Kelainan kardiopulmoner. Gagal jantung kongestif dan edema paru-paru terjadi akibat kelebihan kelebihan volume. Aritma jantung  dapat terjadi akibat hiperkalemia. Perikarditis uremia mungkin terjadi pada penderita uremia dan juga dapat muncul pada pasien yang sudah mendapat dialisis.
3)      Kelainan hematologi. Selainn anemia, pasien dengan gagal ginjal memiliki waktu perdarahan yang lebih lama dan kecenderungan untuk berdarah, meskipun waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, dan hitung trombosit normal. Mukosa gastrointestinal adalah tempat yang paling lazim untuk perdarahan uremia.
4)      Efek gastrointestinal. Anoreksia, mual, dan muntah-muntah terjadi pada uremia. Perdarahan gastrointestinal sering ditemukan dan dapat diakibatkan oleh bgastritis erosif dan angiodisplasia. Kadar amilase serum dapat meningkat sampai tiga kali kadar normal karena menurunnya bersihan ginjal.
5)      Osteodistrofi ginjal. Hiperparatiroidisme menyebabkan osteitis fibrosa kistika dengan pola radiologik yang klasik berupa resorpsi tulang subperiostial (yang paling mudah dilihat pada falangs distal dan falangs pertengahan jari kedua dan ketiga), osteomalasia, dan kadang-kadang osteoporosis.
6)      Efek neuromuskular. Neuropati uremia terutama melibatkan tungkai bawah dapat menyebabkan gejala “restless leg”, mati rasa, kejang, dan foot drop bila berat. Penurunan status jiwa, hiperrefleksia, klonus, asteriksis, koma, dan kejang mungkin terjadi pada uremia yang telah parah.
7)      Efek imunologis. Pasien dengan gagal ginjal dapat sering mengalami infeksi bakterial yang berat karena menurunnya fungsi limfosit dan granulosit akibat beredarnya toksin uremia yang tidak dikenal.
8)      Efek dermatologis. Pruritus sering ditemukan pada pasien dengan gagal ginjal kronis.
9)      Obat. Banyak obat nefrotoksik dapat memperburuk fungsi ginjal dan harus dihindari (NSAID, aminoglikosida). Dosis obat-obat mungkin terpaksa diatur pada pasien dengan gagal ginjal. (6:181-2)
Uremia berkepanjangan merupakan hasil akhir semua penyakit ginjal. Adapun manifestasi sisemik utama pada gagal ginjal kronik dan uremia sebagai berikut :(12:565)
Cairan dan Elektrolit :
·         Dehidrasi
·         Edema
·         Hiperkalemia
·         Asidosis metabolik
Kalsium Fosfat dan Tulang :
·         Hiperfosfatemia
·         Hipokalsemi
·         Hiperparatiroidisme sekunder
·         Osteodistrofi renal
Kardiopulmonal :
·         Hipertensi
·         Gagal Jantung kongestiv
·         Edema Paru
·         Perikarditis uremik
Gastrointestinal :
·         Nausea dan vomitus
·         Perdarahan
·         Esofagitis, gastritis, kolitis
Neuromuskuler :
·         Miopati
·         Neuropati perifer
·         Ensefalopati
Dermatologik :
·         Warna pucat
·         Pruritis
·         Dermatitis
Hematologik :
·         Anemia
·         Diatesis perdarahan


-       Patofisiologi
Terdapat dua pendekatan teoritis yang umumnya diajukan untuk menjelaskan gangguan fungsi ginjal pada gagal ginjal kronik. Sudut pandang tradisional mengatakan bahwa semua unit nefron telah terserang penyakit namun dalam stadium yang berbeda-beda, dan bagian-bagian spesifik dari nefron yang berkaitan dengan fungsi tertentu dapat saja benar-benar rusak atau berbah strukturnya. Misalnya, lesi pada medula akan merusak susunan anatomik pada Lengkung Henle dan vasa rekta, atau pompa klorida pada pars asendens Lengkung Henle yang akan mengganggu proses aliran balik pemekat dan aliran balik penukar. Pendekatan kedua dikenal dengan nama hipotesis Bricker atau hipotesis nefron yang utuh, yang berpendapat bahwa bila nefron terserang penyakit, maka seluruh unitnya akan hancur, namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan  terjadi bila jumlah nefron sudah sangat berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi. Hipotesis nefron yang utuh ini sangat berguna untuk menjelaskan pola adaptasi fungsional pada penyakit ginjal progresif, yaitu kemempuan untuk mempertahankan keseimbangan air dan elektrolit tubuh kendati GFR sangat menurun.
Urutan peristiwa dalam patofisiologi gagal ginjal progresif dapat diuraikan dari segi hipotesis nefronn yang utuh. Meskipun penyakit ginjal kronik terus berlanjut, namunn jumlah zat terlarut yang harus diekskresikan oleh ginjal untuk mempertahankan homeostatis tidaklah berubah, kendati jumlah nefron yang bertugas melakukan fngsi tersebut sudah menurun secara progresif. Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respons terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal. Terjadi peningkatann kecepatan filtrasi, beban zat terlarut dan reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron meskipun GFR untuk seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal. Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan keseimbangan cairn dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang sangat rendah. Namun akhirnya, kalau sekitar 75% mmassa nefron sudah hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron demikian tinggi sehingga keseimbangan glomerulus-tuubulus (keseimbangan antara peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus) tidak dapat lagi dipertahankan. Fleksibilitas baik pada proses eksresi maupun proses konservasi zat terlarut dan air menjadi berkurang. Sedikit perubahan pada makanan dapat mengubah keseimbbangan yang rawan tersebut, karena makin rendah GFR (yang berarti makin sediikit nefron yang ada) semakin besar perubahan kecepatan eksresi per nefron. Hilangnya kemampuan memekatkan atau mengencerkan uurine menyebabkan berat jenis urine tetap pada nilai 1,010 atau 285 mOsm (yaitu sama dengan konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia. (1:914-5)
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebbih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokinin dan growth factor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya, diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron internal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-ngiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terrhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointestinal.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien, seperti nokturia, mual, muntah, badab lemah, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, ggangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan laiin sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gannguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement theraphy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal. (2:1036)
 Gangguan pengaturan juga berperan pada terjadinya gagal ginjal kronik. Berkurangnya eliminasi air dan elektrolit di ginjal terutama penting dalam timbulnya gejala gagal ginjal. Volume ekstrasel meningkat jika terdapat kelebihan NaCl dan air sehingga terjadi hipovolemia serta edema, komplikasi yang paling berbahaya adalah edema paru. Terutama jika terjadi kelebihan air, secara osmotik akan mendorong air ke dalam sel sehingga meningkatkan volume intrasel dan timbul bahaya edema serebri.
Hipovolemia menimbulkan pelepasan atrial natriuetic factor (ANF) dan mungkin juga ouabain. Ouabain menghambat Na+/K+-ATPase. Vanadat (VNO4) yang banyak diekskresikan oleh ginjal memiliki efek serupa. Klirensnya kurang lebih sama dengan GFR dan kadarnya di dalam plasma akan sangat meningkat pada gagal ginjal.
Penghambatan Na+/K+-ATPase menyebabkan penurunan reabsorpsi Na+ di ginjal terdepolarisasi. Kensentrasi Na+ intrasel akan meningkat. Hal ini mengganggu pertukaran 3Na+/Ca2+ sehingga konsentrasi Ca2+ intrasel juga meningkat. Akibat depolarisasi terjadi gangguan esksitabilitsi neuromuskular, akumulasi Cl- di dalam sel dan pembengkakan sel. Peningkatan konsentrasi Ca2+ menyebabkan vasokontriksi dan peningkatan pelepasan hormon (misal, gastrin,insulin) serta peningkatan efek homoral (misal, epinefrin).
Jika Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat, konsentrasi Ca2+ akan menurun. Keadaan hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid sehingga memobilisasi kalsium fosfat dari tulang (osteomalasia). Biasanya, PTH mampu membuatkonsentrasi fosfat di dalam plasma tetap rendah dengan mengghambat reabssorpsiinya di ginjal. Jadi, meskipun terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang , produknya di plasma tidak berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun, konsentrasi fosfat di plasma meningkat. Selanjutnya, CaHPO4 terpresipitasi dan konsentrasi Ca2+ di plasma tetap rendah. oleh karena itu, rangsangan untuk pelepasan PTH tetap berlangsung. Dalam keadaan perangsangan yang terus-menerus ini, kelenjar paratiroid mengalami hipertrofi dan dalam lingkaran setan, bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH.
Karena reseptor PTH, selain terdapat di ginjal dan tulang, juga terdapat banyak di organ lain (sistem saraf, lambung, sel darah dan gonad), di duga bahwa PTH berperan dalam terjadinya berbagai kelainan di organ tersebut. Pada kenyataanya, pengangkatan kelenjar paratiroid secara signifikan akan membuat berbagai gejala gagal ginjal menjadi membaik. .(13:112)




E. Pemeriksaan Fisik
Pemerikasaan fisik fokus harus diarahkan pada lamanya penyakit dan progrevitas penyakit untuk mengenali adanya proses akut  yang menyertai, yang secara potensial reversibel.(6:182)
G. Pemeriksaan Penunjang
Kreatinin plasma akan meningkat seiring dengan penurunan laju filtrasi glomerulus, dimulai bila lajunya kurang dari 60 ml/menit. Pada gagal ginjal terminal, konsentrasi kreatinin dibawah 1 mmol/liter. Konsentrasi ureum plasma kurang dapat dipercaya karena dapat menurun pada diet rendah protein dan meningkat pada diet tinggi protein, kekurangan garam, dan keadaan katabolik. Biasanya konsentrasi ureum pada gagal ginjal terminal adalah 20-60 mmol/liter.
Terdapat penurunan bikarbonat plasma (15-25 mmol/liter), penurunan pH, dan peningkatan anion gap. Konsentrasi natrium biasanya normal, namun dapat meningkat atau menurun akibat masukan cairan inadekuat atau berlebihan. Hiperkalemia adalah tanda gagal ginjal yang berat, kecua li terdapat masukan berlebihan, asidosis tubular ginjal, atau hiperaldosteron.
Pada pemeriksaan darah ditemukan anemia normostik normokrom dan terdapat sel Burrner pada uremia berat. Leukosit dan trombosit pada masih dalam batas normal. Ketika sel darah merah hancur (hemolisis) dalam tubuh, Hb dilepaskan kedalam lingkup cairan. Jika hemolisis ditemukan dalam pembuluh darah, Hb menjadi unsur pokok dalam plasma dan  berapa dari Hb akan di ekskresi oleh ginjal melalui urine. Jika sel darah merah masuk dalam sistem urine dapat mengakibatkan penyakit atau trauma untuk bagian dari sitem urinaria, sel itu akan hemolisis/ hancur di urine. Melihat penyebab Hb dalam urine, kondisi ini disebut hemoglubinuria, yang mungkin dibuktikan dengan anemia hemolitik, reaksi transfusi, penyakit kuning, cacar air, malaria, hepatitis, pertumbuhan jamur, infark ginjal, dan panas. (14:376)
Pada pemeriksaan mikroskopik urin menunjukkan kelainan sesuai penyakit yang mendasarinya. (12:532) pemeriksaan mikroskopik dalam urin merupakan bagian yang sangat penting dalam analisis urine. Meskipun ruang lingkup dari tahap ini sangat besar, kapasitas dalam rangkaian ini sudah dibatasi. Pemeriksaan mikroskopik lengkap tidak hanya meliputi analisis vital dari sedimen tapi juga pengistimewaan ilmu bakteri.
Urine normal jarang akan mengandung sedikit leukosit, beberapa sel epitel, musin, bakteri dan kristal dari berbagai jenis. Ternologi terlatih harus memutuskan ketika urine normal mengandung zat penting jumlah berlebih dan harus dapat membedakan berbagai jenis dari casts, sel, dan kristal yang mendominasi.(14:376)
Klirens kreatinin meningkat melebihi laju filtrasi glomerulus dan turun menjadi kurang dari 5 ml/menit pada gagal ginjal terminal. Dapat ditemukan proteinuria 200-1000 mg/hari.
Pemeriksaan biokimia plasma untuk mengetahui fungsi ginjal dan gangguan elektrolit, mikroskopik urine, urinalisa, tes serologi untuk mengetahui penyebab glomerulonefritis, dan tes-tes penyaringan sebagai persiapan sebeulm dialisis (biasanya hepatitis A dan HIV).
USG ginjal sangat penting untuk mengetahui ukuran ginjal dan penyebab gagal ginjal, misalnya ada kista atau obstruksi pelvis ginjal. Dapat pula dipakai foto polos abdomen. Jika ginjal lebih kecil dibandingkan usia dan besar tubuh pasien maka lebih cenderung ke arah gagal ginjal kronik. (12:532)
1)      Pemeriksaan laboratorium :
Sementara massa nefron dan fungsi ginjal berkurang, ginjal menjadi tidak mampu mengatur cairan, elektrolit, dan sekresi hormon.
a)      Natrium. Bila GFR turun di bawah 20-25 mL/menit, ginjal menjadi tidak mampu mengekskresi beban natrium ataupun menyimpan natrium; ini sering menyebabkan retensi natrium dengan akibat edema, hipertensi dan gagal jantung kongestif. Sejumlah kecil pasien (1-2%) menderita nefropati “membuang garam” (salt wasting nephropathy), yang mengakibatkan kekurangan natrium meskipun diet natrium tak dibatasi. Pasien ini biasanya memilki penyakit ginjal interstisial yang mendasari dan mungkin membutuhkan tambahan garam dalam diet untuk mempertahankan keseimbangan natrium.
b)      Air. Sementara fungsi ginjal memburuk, kemampuan ginjal untuk memekatkan dan mengencerkan urin menjadi terganggu, dan kadar urin menjadi isotonik. Tetapi, mekanisme rasa haus yang masih utuh biasanya dapat mempertahankan keseimbangan air sampai perjalanan penyakit telah lanjut. Pembatasan air yang berat dapat mengakibatkan hipernatremia, menurunnya ekskresisolut, dan kenaikan BUN dan kreatinin serum; sementara asupan air yang terlalu banyak menyebabkan hiponatremia.
c)      Kalium. Keseimbangan kalium dipertahankan oleh peningkatan sekresi di tubulus distal dan peningkatan ekskresi gastrointestinal lewat peningkatan kadar aldosteron. Tetapi, bila GFR turun sampai 10 mL/menit pasien dapat mengalami hiperkalemia kalau sistemnya diberi tekanan oleh beban kalium akibat peningkatan konsumsi buah, sayur-mayur, atau garam kalium (pengganti garam) ; pemberian obat tertentu misalnya antagonis-aldosteron (spironolakton, triamterin) dan penghambat enzim pengubah angiotensin (ACEis); asidosis metabolik; atau asidosis tubulus ginjal tipe IV.
d)     Keseimbangan Asam-Basa
-          Asidosis hiperkloremik. Asidosis metabolik hiperkloremik tanpa celah anion (nonanion gap) dapat terjadi pada awal gagal ginjal, terutama pada pasien dengan penyakit tubulointestinal yang kronik. Ini terjadi karena ginjal tidak mampu meningkatkan produksi amonia dan ekskresi ion hidrogen.
-          Asidosis dengan kenaikan celah anion. Asidosis metabolik celah anion terjadi akibat akumulasi anion fosfat dan sulfat yang tak terukur.
e)      Kalsium, Fosfor, dan Mangnesium. Hipokalsemia terjadi akibat menurunnya produksi 1,25-dihidroksikolekalsiferol (vitamin D) oleh ginjal, yang menyebabkan berkurangnya absorpsi kalsium oleh sistem gastrointestinal. Sementara GFR menurun, ekskresi fosfat juga berkurang, mengakibatkan peningkatan fosfor serum. Hiperfosfatemi juga menybabkan kadar ion kalsium dalam serum. Hipokalsemia merangsang absorpsi sekresi hormon patiroid (PTH), yang mengakibatkan penyakit tulang hiperparatiroid (oeteitis fibrosa). Hipermagnesemia biasanya ringan dan asimptomatis. Pemberian laksatif, enema, atau antasida yang mengandung magnesium dapat menyebabkan hipermagnesia simptomatis yang mengakibatkan gejala neuromuskuler (letargi, kelemahan, paralisis, kegagalan pernapasan).
f)       Anemia. Anemia terutama terjadi akibat menurunnya sintesis eritropoietein pada ginjal. Sediaan apus darah tepi mengungkapkan anemia normokromik, normostik dengan sedikit sel burr dan sel helmet. Besi, feritin, dan transferin dalam serum biasanya normal kecuali kalau terdapat perdarahan gastrointestinal, atau terjadi kehilangan darah selama dialisis. Terapi penggantian dengan eritropoietin rekombinan manusia dapat memperbaiki anemia.(6:180-181)
2)      Gambaran Radilogis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :
a)      Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.
b)      Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filtrat glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c)      Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi.
d)     Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang menegcil, korteks yang menipis, adanya hidronefritis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.
e)      Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.(2:1037)
3)      Pemeriksaan Lainnya :
DPL, ureum, kreatinin, UL, Tes klirens kreatinin (TTK) ukur, elektrolit (Na, K, Cl, Ca, P, Mg), profil lipid, asam urat serum, gula darah, AGD, SI, TIBC,feritin serum, hormon PTH, albumin, globulin, USG ginjal, pemeriksaan imunologi, hemostatis lengkap, foto polos abdomen, renogram, foto toraks, EKG, ekokardiografi, biopsi ginjal, HbsAg, Anti HCV, Anti HIV. (5:157)


H.  Diagnosis
Diagnosis gagal ginjal kronik biasanya tidak sukar. Langkah-langkah diagnostik adalah anamnesa yang teliti, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan diagnostik khusus, yang ditujukan untuk menentukan tahapan dan penyebab. Pegangan utama yang ringkas untuk mencapai diagnosis dapat dilihat pada tabel di bawah.(4:265)
Keluhan
Umum
Kencing
Dermatologik
Saluran cerna
Seksual
Kardiovaskuler
Neuromuskuler
Rasa lemah.
Poliuria/oliguria, nokturia.
Gatal.
Anoreksia, nausea, muntah, cekutan.
Mengurangnya libido, impoten.
Edema, nyeri dada, sesak napas.
Kejang, “twiching”, rasa tebal, insomnia, kesukaran konsentrasi, perubahan kepribadian.
Gejala
Umum
Dermatologik
Kardiovaskuler
Neuromaskuler
Lain-lain
Gizi kurang, pernafasan kussmaul.
Pucat, hiperpigmentasi, petekie, ekskoriasi.
Hipertensi, kardiomegali, friksi perikard, edema.
Neuropati perifer, mengantuk “twitching”
Bau napas uremik.
Pemeriksaan khusus
Laboratorium







Radiologik
Azotemia
Asidosis metabolik
Anemia
Hiperurikemia
Hiperkalemia
Hiperfosfatemia
Hipokalsemia
Proteinuria
Osteodistrofi
Ginjal ciut.

Berdasarkan anamnesis dapat ditentukan kecenderungan diagnosis, misalnya bila terdapat riwayat nokturia, poliuria, dan haus, disertai hipertensi, dan riwayat penyakit ginjal, lebih mungkin dipikirkan ke arah gagal ginjal kronik. Tanda-tanda uremia klasik dengan kulit pucat atrofi, dengan bekas garukan, dan leukonikia tidak terjadi seketika dan jarang ditemukan pada gagal ginjal akut. Namun, pada banyak kasus, gambaran ini tidak ditemukan sehingga lebih baik menganggap semua pasien azootemia menderita gagal ginjal akut sampai dapat dibuktikan sebaliknya.(11:533)
·         Anamnesis : lemas, mual, muntah, sesak napas, pucat, BAK berkurang, dll.
·         Pemeriksaan Fisik : anemis, kulit kering, edema tungkai atau palpebra, tanda bendungan paru.
·         Laboratorium : gangguan fungsi ginjal.(5:157)
·         Radiograf atau ultrasound akan memperlihatkan ginjal yang kecil dan atrofi.
·         Nilai BUN serum, kreatinin, dan GFR tidak normal.
·         Hematokrit dan hemoglobin turun.
·         pH plasma rendah.
·         Peningkatan kecepatan pernapasan mengisyaratkan kompensasi pernapasan akibat asidosis metabolik.(9:730)
Ultrasonografi ginjal dapat berguna untuk mengidentifikasi penyebab penyakit ginjal. Ginjal yang kecil bilateral dengan peningkatan ekogenisitas ditentukan pada gagal ginjal stadium akhir akibat etiologi apapun. Tetapi, pasien dengan diabetes mellitus dan amiloidosis mempunyai ginjal yang normal atau besar. Ginjal polikistik juga dapat dikenali.
Biopsi ginjal dilakukan kalau dicurigai adanya penyakit ginjal yang berkembang cepat atau memiliki potensi dapat diobati. Pada masa akhir perjalanan gagal ginjal, atau bila ginjal yang kecil bilateral ditemukan pada ultrasonografi, kerusakan ginjal biasanya telah demikian berat sehingga biopsi tidak lagi berguna.(6:182)
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih relatif mendekati normal, dimana diagnosis secara nonivasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan.(2:1037)
I.     Terapi
A.    Terapi penurunan fungsi ginjal yang menyertai dan secara potensial reversibel. Suatu penurunan tak terduga yang terjadi mendadak pada insufisiensi ginjal yang stabil atau perkembangannya perlahan harus mendorong penyelidikan mengenai kemungkinan suatu proses akut yang reversibel. Beberapa keadaan dan obat-obatan dapat memperburuk insufisiensi ginjal yang telah ada. Setiap masalah dalam bidang ini harus dikenali dan dikoreksi dengan segera untuk menghindari gangguan lebih jauh terhadap ginjal.
1.      Keadaan prerenal
a.       Penurunan volume. Penurunan volume mungkin terjadi akibat pemberian dieuretika, yang mungkin perlu dikurangi atau dihentikan. Asupan oral yang buruk mungkin membutuhkan hidrasi intravena dengan cairan garam fisiologis biasa.
b.      Gagal jantung kongestif. Gagal jantung kongestif kronis ditangani oleh pembatasan natrium dalam diet, diuretika ansa Henle, dialisis, penurunan afterload, dan pengendalian hipertensi.
2.      Obstruksi Saluran Kemih.
3.      Hipertensi. Hipertensi yang tak terkendali yang disebabkan oleh retensi natrium atau meningkatnya kadar renin dan angiotensin dapat mempercepat kemunduran fungsi ginjal. Pembatasan natrium dalam diet (1-2g/hari) dan diuretika ansa digunakan dalam terpi awal. Penghambat saluran kalsium dan ACEI juga telah terbukti efektif, meskipun ACEl harus dihindari pada pasien dengan stenosis arteri renalis.
4.      Nefrotoksin. Nefrotoksin, termasuk antibiotika, NSAID, dan zat warna radiografik, harus dihindari bila mungkin.
5.      Infeksi. Infeksi giinjal diterapi antibiotika yang tepat berdasarkan hasil-hasil biakan urin.(6:183)

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :
·         Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
·         Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid ccondition)
·         Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal.
·         Pencegahan dan teerapi terhadap komplikasi
·         Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Perencanaan tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya, dapat dilihat pada tabel dibawah :(2:1037)
Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya
Derajat
LFG (ml/mnt/1,73)
Rencana Tatalaksana
1
≥ 90
Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi pemburukan (progression) fungsi ginjal, memperkecil resiko kardiovaskuler.
2
60-89
Menghambat pemburukan (progression) fungsi ginjal.
3
30-59
Evaluasi dan terapi komplikasi.
4
15-29
Persiapan terapi pengganti ginjal
5
< 15
Terapi penggati ginjal.

Tatalaksana konservatif. Tujuan tatalaksana konservatif adalah memanfaatkan fungsi ginjal yang masih sisa setepat mungkin, menghindarkan faktor-faktor yang memperberat dan mencoba melambatkan progresi gagal ginjal. (4:265)
Gagal ginjal kronis dapat diobati dengan manajemen konservatif insufisiensi ginjal dan dengan terapi pengganti ginjal dengan dialisis atau transplantasi. Pengobatan konservatif terdiri dari langkah-langkah untuk mencegah atau menghambat penurunan yang tersisa fungsi ginjal dan membantu tubuh dalam mengkompensasi kerugian yang ada.(10:442)
Tatalaksana konservatif gagal ginjal kronik meliputi diet retriksi asupan kalium, fosfat, natrium, dan air untuk menghindari hiperkalemia, penyakit tulang dan hipervolemia. Hipervolemia ringan dapat menyebabkan hipertensi, dan mengarah ke penyakit vaskuler dan hipertrofi ventrikel kiri. Hipervolemia berat menyebabkan edema paru. Tekanan darah yang tidak dapat dikontrol dengan balans cairan ketat seharusnya diobati dengan inhibitor ACE, bloker reseptor angiotensin, β-blocker, atau vasodilatasor. Anemia seharusnya diobati dengan eritropoietin, setelah dipastikan tidak ada perdarahan dari saluran pencernaan atau menstruasi berlebihan serta kadar besi, folat, dan vitamin B12 adekuat. Penyakit tulang diobati dengan mengurangi asupan fosfat, mengomsumsi senyawa pengikat fosfat bersama makanan, dan mengomsumsi vitamin D dalam bentuk 1-hidroksi-vitamin D3 atau 1,25-dihdroksi vitamin D3. Jika gangguan ginjal kronik bersifat berat, dialisis atau transplantasi ginjal biasanya diperlukan selain tata laksana di atas. Kualitas hidup pasien yang menururn dapat diperbaiki dengan tata laksana komplikasi gagal; ginjal kronik, terutama anemia. (8;95)
Hemodialisis, Peritoneal Dialisis, dan Transplantasi Ginjal.
Gagal ginjal mencapai titik ketika ginjal tidak bisa lagi mengekskresikan air dan ion pada tingkat yang menjaga keseimbangan zat tubuh, juga tidak dapat mengekskresikan limbah produk secepat mereka diproduksi.
 Perubahan diet dapat meminimalkan masalah ini. Sebagai contoh, menurunkan asupan kalium mengurangi jumlah kalium untuk dibuang, tetapi perubahan tersebut tidak dapat menghilangkan masalah. Teknik yang digunakan untuk melakukan fungsi ekskretoris ginjal adalah hemodialisis dan peritoneal dialisis. Istilah "dialisis" umum berarti zat terpisah menggunakan membran.
Ginjal buatan adalah suatu alat yang menggunakan proses yang disebut hemodialysis untuk menghilangkan kelebihan zat dari darah. Selama hemodialisis, darah dipompa dari salah satu arteri pasien melalui pipa yang dikelilingi oleh cairan khusus dialisis. Tabung kemudian melakukan darah kembali ke pasien dengan cara vena. Pipa umumnya terbuat dari plastik yang sangat permeabel untuk sebagian zat terlarut tetapi relatif kedap protein dan benar-benar kedap darah sel-karakteristik cukup mirip dengan kapiler. Cairan dialisis sama dengan konsentrasi larutan garam dengan konsentrasi ion atau lebih rendah dibandingkan dalam plasma normal, dan tidak mengandung kreatinin, urea, atau zat lain untuk benar-benar dihapus dari plasma.
Pasien dengan gagal ginjal akut reversibel mungkin memerlukan hemodialisis hanya untuk beberapa hari atau minggu. Pasien dengan gagal ginjal kronis ireversibel memerlukan pengobatan untuk sisa hidup mereka, bagaimanapun, kecuali mereka menerima ginjal transplantasi. Pasien tersebut menjalani hemodialisis beberapa kali seminggu, sering di rumah. Cara lain untuk menghilangkan zat-zat yang berlebihan dari darah adalah dialisis peritoneal, yang menggunakan lapisan rongga perut pasien sendiri (peritoneum) sebagai membran dialisis. Fluida diinjeksikan, melalui jarum dimasukkan melalui dinding perut, ke dalam rongga ini dan diperbolehkan untuk tinggal di sana selama berjam-jam, di mana zat terlarut berdifusi ke cairan dari darah seseorang. Cairan dialisis ini kemudian dihapus dengan memasukkan kembali jarum dan diganti dengan cairan yang baru. Prosedur ini dapat dilakukan oleh seorang pasien yang secara bersamaan beberapa hari tiap kali melakukan aktivitas normal.
Pengobatan pilihan untuk kebanyakan pasien dengan gagal ginjal permenen adalah transplantasi ginjal. Penolakan dari transplantasi ginjal oleh tubuh penerima adalah potensi masalah dengan transplantasi, tetapi langkah besar telah dibuat dalam mengurangi frekuensi penolakan. (15:560)
Hemodialisis. Prinsip dasar dari hemodialisis tetap tidak berubah sepanjang tahun, meskipun teknologi barutelah meningkatkan efisiensi dan kecepatan dialysis. Hemodialisis sistem, atau ginjal buatan, terdiri dari tiga bagian: kompartemen darah, sebuah kompartemen cairan dialisis, dan plastik yang membran yang memisahkan dua kompartemen. Para membran semipermeabel plastik ini, memungkinkan semua molekul kecuali sel darah dan protein plasma untuk bergerak bebas di kedua arah-dari darah ke dalam larutan dialisis dan dari larutan dialisis ke dalam darah. Arah aliran ditentukan oleh konsentrasi zat terkandung dalam dua solusi. Produk limbah dan kelebihan elektrolit dalam darah biasanya berdifusi ke dalam solusi dialisis. Jika ada kebutuhan untuk mengganti atau menambahkan zat, seperti bikarbonat, untuk darah, ini dapat ditambahkan ke solusi dialisis. Selama dialisis, darah bergerak dari arteri melalui tubing dan ruang darah dalam mesin dialisis dan kemudian kembali ke dalam tubuh melalui pembuluh darah. Akses ke sistem vaskular dicapai melalui shunt arteriovenosa eksternal (yaitu, tabung ditanamkan ke arteri dan vena) atau, lebih umum, melalui fistula arteriovenosa internal (yaitu, anastomosis dari vena ke arteri, biasanya di lengan bawah). Heparin adalah digunakan untuk mencegah pembekuan selama perawatan dialisis, bisa diberikan terus menerus atau sebentar-sebentar.
Dialisis peritoneal. Dialisis peritoneal menggunakan prinsip yang sama difusi, osmosis ultrafiltrasi, dan yang berlaku untuk hemodialisis. Membran serosa tipis dari peritoneumrongga berfungsi sebagai membran dialisis. Sebuah kateter silastic adalah operasi ditanamkan di rongga peritoneal bawah umbilikus untuk menyediakan akses. Kateter terowongan melalui jaringan subkutan dan keluar di sisi perut. Proses dialisis melibatkan menanamkan dialisis steril solusi (biasanya 2 L) melalui kateter selama jangka waktu sekitar 10 menit. Pada akhir waktu tinggal, cairan dialisis terkuras keluar dari rongga peritoneum oleh gravitasi menjadi steril tas. Glukosa dalam larutan dialisis rekening untuk menghilangkan air. Larutan dialisis komersial tersedia di 1,5%, 2,5%, dan konsentrasi dekstrosa 4,25%. Solusi dengan dekstrosa lebih tinggi meningkatkan tingkat osmosis, menyebabkan lebih banyak cairan untuk dihapus. Metode yang paling umum adalah kontinu rawat jalan peritoneal dialisis (CAPD), prosedur perawatan diri orang yang mengelola prosedur dialisis dan jenis larutan (yaitu, dekstrosa konsentrasi) digunakan di rumah.
Transplantasi. Tingkat keberhasilan sangat meningkat telah membuat transplantasi ginjal menjadi pilihan pengobatan bagi banyak pasien dengan gagal ginjal kronis. Ketersediaan organ donor terus membatasi jumlah transplantasi yang dilakukan setiap tahun. Organ donor yang diperoleh dari mayat dan donor hidup terkait (misalnya, orang tua, saudara). Keberhasilan transplantasi tergantung terutama pada tingkat histokompatibilitas, organ yang memadai pelestarian, dan manjemen imunologi.(10:442)


 Terapi Nonfarmakologis :
·         Pengaturan asupan protein :
-          Pasien non dialisis 0,6-075 gram/kgBB ideal/hari sesuai dengan CCT dan toleransi pasien.
-          Pasien hemodialisis 1-1,2 gram/kgBB/hari
-          Pasien peritoneal dialisis 1,3 Kal/kgBB/hari
·         Pengaturan asupan kalori : 35Kal/kgBB ideal/hari
·         Pengaturan asupan lemak : 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh.
·         Pengaturan asupan karbohidrat : 50-60% dari kalori total.
·         Garam (NaCl) : 2-3 gram/hari
·         Kalium : 40-70 mEq/kgBB/hari
·         Fosfor : 5-10mg/kgBB/hari. Pasien HD ;17mg/hari.
·         Kalsium : 1400-1600 mg/hari
·         Besi : 10-18 mg/hari
·         Magnesium : 200-300 mg/hari
·         Asam folat pasien HD :5 mg
·         Air : jumlah urin 24 jam + 500 ml (invesible water)
Pada CAPD air disesuaikan dengan jumlah dialisat yang keluar. Kenaikan berat badan di antara waktu HD <5% BB kering.
Farmakologis :
·         Kontrol tekanan darah :
-          Penghambat ACE atau antagonis reseptor Angiotensin II-> evaluasi kreatinin dan kallium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin >35% atau timbul hiperkalemi harus dihentikan.
-          Penghambat kalsium dan diuretik.
·         Pada pasien DM, kontrol gula darah -> hindari pemakaian metformin dan obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbAlC untuk DM tipe 1 0,2 di atas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%.
·         Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl
·         Kontrol hiperfosfatemi : kalsium karbonat atau kalsium asetat
·         Kontrol osteodistrofi renal : Kalsitriol
·         Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO320-22 mEq/l
·         Koreksi hiperkalemi
·         Kontrol dislipidemia dengan target LDL<100 mg/dl, dianjurkan golongan statin
·         Terapi pengganti ginjal.(5:157)
J.    Komplikasi
Banyak komplikasi yang timbul seiring dengan penurunan fungsi ginjal, seperti : komplikasi hematologis, penyakit vaskular dan hipertensi, dehidrasi, kulit, gastrointestinal, endokrin, neurologis dan psikiatrik, imunologis, lipid, dan penyakit jantung. (8:94) Serta gangguan keseimbangan asam dan basa, cairan dan elektrolit, osteodistrofi ginjal dan anemia.(5:158)
·         Pada gagal ginjal progresif, terjadi beban volume, ketidakseimbangan elektrolit, asidosis metabolik, azotemia, dan uremia.
·         Pada gagal ginjal stadium 5 (penyakit stadium akhir), terjadi azotemia berat dan uremia berat. Asidosis metabolik memburuk, yang secara mencolok merangsang kecepatan pernapasan.
·         Hipertensi, anemia, osteodistrofi, hiperkalemia, ensefalopati, uremik, dan pruritus (gatal) adalah komplikasi yang sering terjadi.
·         Penurunan pembentukan eritropoietin dapat menyebabkan sindrom anemia kardiovaskular, dan penyakit ginjal yang akhirnya menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas.
·         Dapat terjadi gagal jantung kongestif.
·         Tanpa pengobatan terjadi koma dan kematian.(9:730)
K.      Prognosis
Dubia.(5:158)


BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah kerusakan faal ginjal yang hampir selalu tak dapat pulih, dan dapat disebabkan berbagai hal. Istilah uremia telah dipakai sebagai nama keadaan ini selama lebih dari satu abad, walaupun sekarang kita sadari bahwa gejala gagal ginjal kronik tidak seluruhnya disebabkan retensi urea dalam darah.
Adapun kriteria penyakit ginjal kronik adalah :
1.      Kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, berupa kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LGF), berdasarkan :
·         Kelainan patologik atau
·         Pertanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan pada komposisi darah atau urin, atau kelainan pada pemerikasaan pencitaraan.
2.      LFG <60 ml/menit/1,73 m2 yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Banyak hal yang dapat menyebabkan gagal ginjal kronik. Banyak penyakit ginjal yang mekanisme patofisiologinya bermacam-macam tetapi semuanya sama-sama menyebabkan destruksi nefron yang progresif pada tabel dibawah dapat dilihat dua golongan utama penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan gagal ginjal kronik.

B.       Saran
Sebagai tindakan pencegahan sebaiknya kita banyak melakukan olahraga, menjaga asupan nutrisi yang adekuat serta istirahat yang teratur.
Semoga dengan pembelajaran ini kita sebagai mahasiswa keperawatan, akan lebih mudah mengetahui seluk beluk penyakit Gagal Ginjal Kronik, bagaimana gejala hingga komplikasinya sehingga kita mampu  memberikan asuhan keperawatan yang tepat untuk pasien penderita gagal ginjal kronik kelak.

DAFTAR PUSTAKA

1.        A. Price, Sylvia & M. Wilson, Lorraine. 2005. Edisi 6. Vol.2. Gagal Ginjal Kronik. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC .

2.        Aru W Sudoyo, dkk. 2009. Jilid 3. Edisi V. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing.

3.        Smeltzer, Suazanne C. 2001. Edisi 8. Volume 2. Gagal Ginjal Kronik. Buku Ajar Keperawatan  Medikal-Bedah Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC.

4.        Sibuea, W Herdin, dkk. 2005. Penanggulangan Gagal Ginjal Kronik. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Asdi Mahasatya.

5.        A. Aziz Rani, dkk. 2009. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: EGC.

6.        Jay H. Stein, MD. 2001. Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : EGC.

7.        Guyton, Arthur C. dan John E. Hall. 2006. Textbook of Medical Physiology. Ed. 11. Phyladelvia : Elseiver Sender.

8.        Chris O’Callaghan. 2007. At a Glance Sistem Ginjal. Jakarta : Erlangga.

9.        Corwin, Elizabeth J. 2009. Edisi 3. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

10.    Carol Mattson Porth.2006. 2thEdition.Essential of Phatofisilogy.Pennsylvia : The Point

11.    Masjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran . Media Aesculapius : Jakarta.

12.    Robbins, Stanley L. 1999. Edisi 5. Buku Saku Dasar Patologi Penyakit. Jakarta: EGC.

13.    Silbernagl, Stefan. 2006. Teks dan Atlas Berwarna patofisiologi. Jakarta : EGC.

14.    Harold, J Benson, dkk. 2005. Sixth Edition. Anatomy & Physiology Laboratory Textbook. New York : McGraw-Hill.

15.    Eric P. Widmaier, dkk. 2003. 9th Edition. Human Physiology : The Mechanism of Body Function.  New York : McGraw-Hill.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar